AR-RAUUF
( YANG
MAHA PEMBERI KASIH SAYANG)
Allah adalah
Tuhan yang memberi kasih dan sayang. Pemberian kasih-Nya ditujukan pada seluruh
umat manusia, tetapi kasih dan sayang-Nya lebih dikhususkan pada
hamba-hamba-Nya yang beriman. Dalam Q.S. al-Baqarah (2): 143 disebutkan bahwa
Allah tidak menyia-nyiakan iman hamba-Nya, Dia adalah ar-Ra’uf (Maha Pengasih)
dan ar-Rahim (Maha Penyayang) pada umat manusia. Dalam al-Quran, kata ar-Ra’uf
sering disandingkan dengan kata ar-Rahim (Maha Penyayang), misalnya dalam
beberapa surah berikut: Q.S. at-Taubah (9): 117 dan 128; an-Nahl (16): 7 dan
47; al-Hajj (22): 65; an-nur (24): 20; dan al-Hadid (57): 9. Banyaknya sifat
ar-Ra’uf yang bersandingan dengan ar-Rahim menunjukkan bahwa Allah sangat
menonjolkan sifat kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya.
Ar Rauf, adalah sifat Allah yang penyayang,
pengasih, santun dan peramah kepada hamba-Nya. Allah demikian
santun atau ramah kepada makhluk-Nya sehingga memperlakukan hamba-Nya dengan
baik, Dia turunkan hujan yang diawali dengan gerimis kecil yang diikuti dengan sepoi angin
sehingga menyejukkan cuaca di sekitarnya, ketika gerimis kecil tadi akan
menjadi hujan lebat diawali dahulu dengan cahaya kilat dan gemuruh yang indah. Dengan santun, kasih dan ramahnya, Allah
memposisikan manusia demikian luar biasa, dengan kelebihan yang tidak dimiliki
oleh makhluk lainnya. Sehingga manusia menjadi makhluk Allah yang terbaik
dibandingkan makhluk yang lain;”Dan
Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami
ciptakan" (QS.
17; Al Isra' ayat 70).
Allah Ar Rauf, Dia Yang Peramah, Dia melimpahi
karunia rezeki dari berbagai sumber tanpa diduga-duga datangnya, Dia karuniai
hamba-Nya kemudahan hidup sehingga mampu berbuat sesuatu untuk kepentingan
bersama, Dia sediakan fasilitas hidup di darat dan di laut untuk kepentingan
manusia, bahkan dikala kemungkaran terjadi, masih dibiarkan saja agar sang
hamba mau bertaubat kembali kepada jalan yang benar. Dia menciptakan binatang ternak untuk
memenuhi kebutuhan makanan dan alat angkutan seperti firman-Nya dalam surat 16;
an-Nahl ayat 5-8 yang artinya:” Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya
ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfa`at, dan sebahagiannya
kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat
penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak
sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang
memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu
menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang
kamu tidak mengetahuinya”.
Kasih sayang Allah kepada manusia juga dalam menundukkan segala
isi alam ini kepada manusia, sehingga manusia dijadikan mampu untuk
mengendalikannya demi memenuhi kebutuhannya. Allah berfirman dalam surat 22;
al-Hajj ayat 65 yang artinya:”Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah
menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan
dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi,
melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada Manusia.”
Dalam surat 24; an-Nuur ayat 20 kata ar-Rauuf ini dijadikan penutup cerita
tentang berita bohong dalam bantuk tuduhan berselingkuhyang ditujukan kepada
isteri nabi Aisyah dan Shafwan bin Mu’aththal, yang menolong mengiringi Aisyah
yang tertinggal dari rombongan. Allah menunjukkan kasih saying dan
kelembutan-Nya dengan menurunkan ayat 11 sampai 20 untuk membongkar kebu8sukan
orang munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay yang sengaja menebarkan
fithnah dan kebohongan terhadap Isteri Rasulullah SAW.
Kasih sayang Allah itu juga
dalam bentuk menurunkan ayat-ayat yang jelas untuk mengeluarkan manusia dari
kegelapan kepada cahaya sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat 57;
al-Hadid ayat 9 yang artinya:”Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat
yang terang (Al Qur'an) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada
cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang
terhadapmu.
Allah adalah ar-Rauuf yang
maha belas kasihan kepada makhluknya terutama orang orang yang bertaubat yang
mau mengakui kesalahannya dan kembali ke jalan yang benar. Sifat ar-Rauuf
digambarkan oleh Alaah dalam surat at-Taubah ayat 117-118 yang mengisahkan
tentang bagaimana Allah mengampuni orang-orang yang ikut berperang di perang
Tabuk yang sangat sukar angkutan, perbekalan dan air seperti digambarkan oleh
Umar bin Khattab’”Kami keluar bersama Rasulullah SAW ke Tabuk dalam kekeringan
yang sangat sekali. Kami berhenti di satu perhentian. Maka kamipun ditimpa
haus, kering rasanya kerongkongan sehingga laher rasa-rasa putus, sehingga ada
yang menyemblih untanya , lalu memeras lambung-lambung air di perut unta untruk
buat diminum. Sampai karena sangat kekeringan itu, Abu Bakar berkata kepada
Nabi SAW:”Ya Rasulallah! Tuhan telah menjanjikan do’a engkau dikabulkan,
sudilah mendo’akan kami!” maka beliaupun berdo’alah , diangkatnya kesua tangan
sambil menengadah, dan tidak beliau turunkan tangan beliau sebelum turun hujan.
Tiba tiba turunlah hujan basar. Maka buru burulah mereka itu mewnampung air
hujan itu dengan tempat air masing-masing sampai penuh. Setelah itu hujanpun
berhenti. Dan kami periksa kenyataan bahwa hujan itu hanyalah di sekitar tempat
kami berhenti saja”. Kesukaran tersebut hamper saja membuat sebahagian dari9
Golongan Anshar dan Muhajirin hamper terpengaruh untuk mengurunkan niat mereka
ikut berperang. Dan dengan kasih saying-Nya Allah memaafkan mereka seperti
firman-Nya dalam ayat 117 yang artinya :” Sesungguhnya Allah telah
menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar, yang
mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir
berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.
Demikian pula Allah
menerima taubat tiga orang yang tidak ikut berperang dengan membuat alasan yang
tidak benar atau dibuat-buat. Mereka itu adalah Ka’ab bin Malik dari bani
Salmah, Hilal bin Umaiyah dari bani ‘Auf dan Marrah bin Rabi’ dari bani ‘Amr
bin ‘Auf. Cerita tentang perjalanan taubat mereka sangat mengharukan seperti
dikisahkan langsung oleh Ka’ab bin malik dalam kisah di bawah ini, semoga hati
kita terketuk untuk membacanya.
Ka’ab bin Malik
menceritakan sendiri kisahnya ketika ia tidak ikut dalam perang Tabuk,”terus
terang aku katakan bahwa seketika itu adalah masa aku lebih kuat, lebih sanggup, kalau aku mau pergi menurutkan beliau. Demi
Allah pada masa itu aku mempunyai dua ekor kenderaan, padahalselama ini aku
hanya mempunyai satu. Dan menurut kebiasaan Rasulullah SAW. Kalau akan pergi
berperang, beliau sengaja merahasiakan kejurusan mana beliau akan pergi, trtapi
yang sekali ini tidak. Maka pergilah beliau berperang, padahal di waktu itu musim sanfat panas,
menempuh perjalanan yang amat jauh, dan akan menghadapi musuh yang sangat
banyak. Maka beliau katakana kepada kaum muslimin ke mana tujuan perang, supaya
mereka benar-benar bersiap lengkap. Dan kaum muslimin yang mengikuti beliau
ketika itu sangat banyak, sehingga tidak dapat dicatat lagi nama-nama mereka
dalam daftar.
Maka adalah orang-orang
yang ingin menyembunyikn diri di waktu itu (supaya tidak ikut), dan menyangka
barwa rahasianya itu tidak akan terbongkar, asal saja tidak turun wahyu dari
Allahmembukakannya. Maka Rasulullah SAW pun bersiaplah hendak pergi ke
peperngan itu, sedang waktu itu adalah musim memetik buah dan sedang enak
berlindung-lindung, dan aku sendiripun mersa terpaut dengan itu, Rasulullahpun
mulai berangkat diiringkan oleh kaum muslimin, sedang aku sendiri mulanya sudah
siap-siap mau ikut bersama mereka. Tetapi aku pulang ke rumah dan tidak ada
satupun yang aku kerjakan. Lalu aku berkata kepada diriku :”Aku sanggup
mengikuti kalau aku mau”.
Begitu sajalah keadaanku,
mundur dan maju, sampai Rasulullah telah berangkat pagi-pagi dan kaum muslimin
telah mengiringkan beliau, namun aku masih tetap juga belum bersiap. Aku
berkata dalam hatiku ketika itu:”Dalam sehari dua ini, aku bersiap laalu aku
susul beliau”. Beliau telah pergi jauh, sedang aku belum juga bersiap. Aku
pulang, aku ragu, sebentar hendak pergi, sebentar terhenti, tetapi aku tidak
juga berkemas. Begitulah keadaanku, sehingga kian lama kian jauhlah rombongan
itu berangkat. Sebentar telah timbul ingatanku hendak menuruti, dan masih bias dituruti.
Menyesallah aku sekarang mengapa aku tidak berbuat begitu. Karena tidak dapat
dituruti lagi karena sudah sangat jauh.
Setelah Rasulullah keluar
bersama kaum muslimin dan aku telah tinggal di Madinah dan tidak dapat menuruti
beliau lagi , barulah terasa menyesal dan sedih dalam hatiku. Sebab ap-abila
aku telah keluar dari rumah, aku melihat tidak ada orang yang patut aku jadikan
teladan, karena yang bertemu hanyalah orang orang yang telah tenggelam dalam
kemunafikan, atau orang-orang yang telah diberi uzur oleh Allah (karena lemah,
sakit atau tidak ada bekal buat pergi). Dan Rasuloullah sendiripun rupanya
tidaklah teringat akan daku, sehingga beliau sampai di Tabuk. Demi setelah
beliau sampai di Tabuk dan duduk dikelili8ngi oleh kaum muslimin, timbullah
pertanyaan beliau tentang diriku: “Mengapa Ka’ab bin Malik” Seorang laki-laki
dari bani Salimah menjawab: “Dia telah terikat oleh selimutnya dan mengurus
kepentingan dirinya”. Mendengar itu Mu’az bin Jabal menegurnya: “Perkataanmu
jahat sekali”, lalu Mu’az berkata kepada Rasulullah SAW. “Menurut
pengetahuanku, ya Rasulallah, Ka’ab bin Mlik adalah seorang yang baik”. Tetapi
Rasulullah SAW. diam saja.
Berkata Ka’ab bin Malik seterusnya:”Maka setelah
sampai kepadaku berita bahwa Rasulullah telah menuju pulang dari Tabuk maka datanglah kesedihanku dan hampir saja saya hendak
berdusta kepada beliau untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada diri
saya agar terlepas dari kemarahan beliau. Saya pun sudah berusaha untuk meminta
pendapat seluruh keluarga saya dalam mencari alasan. Setelah ada berita bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar telah datang, hilanglah
segala keinginanku untuk berdusta karena saya yakin bahwasanya saya tidak akan
selamat selama-lamanya. Maka saya bertekad untuk berkata dengan sejujurnya.
Keesokan harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Sudah menjadi kebiasaan beliau bila datang dari safar selalu shalat dua rakaat di masjid kemudian duduk berbincang-bincang dengan para sahabat. Pada saat itu datanglah orang-orang yang tidak ikut berperang untuk mengajukan alasan-alasan mereka disertai dengan sumpah kepada beliau yang jumlahnya sekitar 80 orang lebih. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima alasan mereka sesuai dengan apa yang mereka nampakkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at dan memintakan ampun untuk mereka serta menyerahkan apa yang ada di batin mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika saya menghadap dan mengucapkan salam kepada beliau, beliau tersenyum sinis kepada saya dan bersabda, “Kemari!!”
Saya pun datang mendekat dan duduk di hadapan beliau.
“Apa yang menyebabkan kamu tidak ikut perang ini, bukankah kamu telah menyiapkan kendaraan?” tanya beliau.
“Yaa Rasulullah, demi Allah seandainya saya duduk di hadapan penduduk bumi ini selain engkau pasti saya akan beralasan agar selamat dari kemarahannya karena saya orang yang pandai berdebat. Tetapi demi Allah, seandainya saya berdusta pada hari ini sehingga engkau ridha, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat engkau marah kepada saya. Namun seandainya saya jujur niscaya engkau akan marah pada saya, tetapi saya tetap mengharapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan akibat yang baik. Demi Allah, saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah tidaklah sebelumnya saya lebih kuat dan mampu dari pada ketika saya tidak ikut berperang bersama engkau,” jujur Ka’ab.
“Adapun yang ini telah berkata jujur, pergilah sampai Allah yang memutuskan tentang dirimu,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka akupun pergi. Sewaktu saya pergi, beberapa orang Bani Salamah mengikuti saya. Mereka berkata kepada saya, “Demi Allah, kami belum pernah mengetahui kami berbuat kesalahan sebelumnya, kenapa kamu tidak minta maaf saja kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana orang-orang yang tidak ikut berperang?! Sesungguhnya permintaan ampun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk kamu akan menghapuskan dosamu?!”
Ka’ab bin Malik berkata, “Demi Allah mereka selalu mencela sikapku sehingga bermaksud untuk kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan mendustakan diriku sendiri.”
“Apakah ada seorang yang menerima keputusan seperti saya ini?” tanyaku kepada orang-orang Bani Salamah tersebut.
“Ya, ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang kamu katakan dan keduanya itu mendapatkan keputusan seperti keputusan yang diberikan kepadamu,” Jawab mereka.
“Siapakah kedua orang itu?” tegasnya.
“Murarah bin Rabiah Al ‘Amiry dan Hilal bin Umayah Al Waqify.”
Ka’ab bin Malik berkata, ”Setelah mereka menyebutkan kepada saya dua orang yang shalih ini di mana keduanya itu juga ikut perang Badr dan mempunyai keutamaan maka ketika itu saya merasa agak tenang.”
Ka’ab bin Malik kemudian melanjutkan ceritanya:
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada salah seorang di antara kami bertiga yang tidak ikut perang Tabuk. Maka orang-orang pun menjauhi kami sehingga seolah-olah kami sangat terasing dan rasanya saya tidak betah lagi hidup di dunia ini. Kami bertiga tinggal dalam keadaan seperti itu selama 50 hari.
Adapun kedua sahabat saya, mereka tetap tinggal dan duduk di rumah dalam keadaan terus menangis. Adapun saya, saya yang termuda dan terkuat di antara kami bertiga. Saya tetap keluar dan ikut shalat bersama kaum muslimin. Saya tetap pergi ke pasar akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyapa saya. Bahkan, suatu ketika saya pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepada beliau ketika sedang duduk setelah shalat di majlisnya. Aku berkata dalam hati, “Apakah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan kedua bibir beliau untuk menjawab salamku?!”
Lalu saya shalat di dekat beliau sambil sesekali melirik beliau. Apabila saya sedang shalat beliau memandang saya. Tapi apabila saya melirik beliau, beliau berpaling. Sampai ketika peristiwa yang demikian ini semakin menyedihkanku di mana kaum muslimin mengucilkanku sedemikian rupa, maka di suatu sore saya naik dinding rumah Abu Qatadah, saudara sepupuku yang amat sangat kusukai.
Lalu saya mengucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah dia tetap tidak membalas salam saya. Lantas saya berkata padanya, “Wahai Abu Qatadah, demi Allah saya ingin mendengar jawabanmu! Apakah kamu mengetahui bahwa saya mencintai Allah dan RasulNya?!”
Tapi Abu Qatadah tidak mau menjawab juga. Kemudian saya meminta dia lagi dengan nama Allah untuk menjawab salam saya, tapi dia masih tidak mau menjawab salam saya juga. Kemudian saya duduk lagi dan saya bertanya lagi kepadanya tapi dia tetap saja diam. Akhirnya dia menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”
Maka mengucurlah air mataku. Kemudian saya naik dinding rumah Abu Qatadah dan beranjak pulang. Suatu hari, saya pernah berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ada seorang petani dari Syam yang biasa menjual makanan di kota Madinah bertanya, “Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepadaku?”
Maka orang-orang menunjuk diriku. Lalu orang itu pun datang kepadaku seraya memberikan sepucuk surat dari raja Ghassan. Waktu itu saya telah bisa menulis dan membaca. Kemudian saya baca surat itu dan ternyata isinya adalah:
“Selanjutnya ingin saya sampaikan bahwa saya telah mendengar kalau teman-temanmu telah mengucilkanmu. Ketahuilah Allah tidaklah menjadikan dirimu sebagai seorang yang hina dan orang yang pantas disia-siakan, maka bergabunglah dengan kami, kita akan saling membantu.”
“Inilah ujian lagi.” gumamku setelah membaca surat itu. Kemudian saya melemparkan surat tersebut ke dalam api.
Setelah sampai pada hari ke-40 di mana saya dikucilkan selama 50 hari dan belum juga turun wahyu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadaku di mana dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu supaya kamu berpisah dengan istrimu.”
“Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang harus saya perbuat???” tanyaku.
“Tidak, janganlah kamu menceraikannya tapi kamu jangan mendekatinya (menyetubuhinya),” jawabnya.
Bersamaan dengan itu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus utusan untuk mendatangi kedua temanku untuk menyampaikan perintah yang sama. Kemudian saya berkata kepada istri saya, “Pulanglah kamu ke keluargamu dulu dan tinggallah di sana bersama-sama mereka sehingga Allah memberi keputusan tentang persoalanku ini.”
Adapun istri Hilal bin Umayyah, maka dia mendatangi Rasulullah.
“Wahai Rasulullah sesungguhnya Hilal bin Umayyah seorang yang sangat tua nan lemah dan tidak mempunyai seorang pelayan. Maka apakah engkau tidak keberatan bila mengizinkan saya melayaninya?” pintanya.
“Tidak apa-apa. Tetapi jangan sekali-kali ia mendekati (menyetubuhi) kamu.”
“Demi Allah! Hilal sudah tidak lagi mempunyai nafsu untuk berbuat seperti itu lagi dan demi Allah ia selalu menangis semenjak ia menerima keputusan itu sampai saat ini.” lanjut istri Hilal.
Kemudian sebagian keluargaku menganjurkan kepadaku agar aku juga minta izin kepada Rasulullah mengenai masalah istriku karena beliau telah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya.
“Saya tidak akan minta izin kepada Rasulullah mengenai istriku. Saya tidak tahu bagaimana jawaban Rasulullah seandainya saya minta izin masalah istriku sedangkan saya masih muda,” tegas Ka’ab.
Kemudian saya tinggal sendirian selama sepuluh hari. Genaplah lima puluh hari saya semenjak orang-orang tidak boleh berbicara kepada kami. Tatkala saya selesai mengerjakan shalat subuh pada hari kelima puluh di tingkat atas rumahku, di mana kemudian saya duduk-duduk di atasnya dengan mengingat apa yang telah menimpaku. Saya telah merasa sangat sempit hidup di dunia ini karenanya. Tiba-tiba saya mendengar seorang yang naik gunung Sal’in dan berteriak dengan suaranya yang paling keras, “Wahai Ka’ab bin Malik bergembiralah kamu!”
Maka saya langsung bersujud karena tahu bahwasanya telah datang jalan keluar bagiku. Ternyata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan kepada manusia bahwa Allah telah menerima taubat kami ketika subuh. Maka orang-orang mulai menyampaikan kabar gembira kepadaku. Begitu pula ada juga yang pergi kepada kedua kawan saya untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.
Ada seorang laki-laki yang datang kepada saya dengan naik kuda, ada yang jalan kaki, ada pula yang naik bukit. Maka terdengar suara orang tadi lebih cepat sampainya kepadaku daripada orang yang berkuda. Ketika sampai kepadaku orang yang menyampaikan kabar gembira tadi, maka segera kulepaskan kedua pakaianku untuk kupakaikan keduanya kepada orang itu dikarenakan kabar gembira tersebut. Padahal demi Allah, waktu itu saya tidak mempunyai pakaian selain itu.
Kemudian saya meminjam dua pakaian untuk saya pakai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang menemui saya secara berkelompok-kelompok menyampaikan selamat atas diterimanya taubat saya.
“Selamat atas diterimanya taubatmu kepada Allah,” kata mereka.
Saya masuk masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di masjid dan di sekitar beliau terdapat banyak orang, Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari untuk menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat kepadaku.
“Demi Allah tidak ada seorangpun dari sahabat Muhajirin yang bangkit selain Thalhah,” ujar Ka’ab.
Abdullah (salah satu periwayat hadits ini) berkata, “Sehingga Ka’ab tidak melupakan Thalhah karena kejadian tersebut.”
Ka’ab berkata: Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda dalam keadaan wajahnya nampak berseri-seri karena gembira, “Bergembiralah kamu pada hari yang paling baik semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu!”
“Adakah dari engkau atau dari Allah wahai Rasulullah?” tanya Ka’ab.
“Bahkan dari Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sedang bergembira wajahnya bersinar seakan-akan wajahnya belahan dari bulan, kitapun telah mengenalnya. Kemudian saya duduk di hadapan beliau.
“Wahai Rasulullah, termasuk bagian dari taubatku maka saya memberikan semua harta kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya,” jelas Ka’ab.
“Tahanlah sebagian hartamu karena yang demikian itu baik bagimu!” komentar Rasulullah.
“Kalau begitu saya hanya akan menahan rampasan perang yang saya dapat di Khaibar saja,” lanjutnya.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala menyelamatkan saya karena saya jujur. Maka termasuk dari taubatku, saya tidak akan berbicara kecuali dengan jujur selama hidupku,” kataku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demi Allah, saya tidak mengetahui seorang pun di antara kaum muslimin yang telah diuji oleh Allah karena kejujurannya seperti saya menceritakan keadaan saya dengan sejujur-jujurnya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai hari ini, dan saya berharap kepada Allah Ta’ala semoga tetap memelihara diri saya selama saya hidup.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firmanNya: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepadaNya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 9; At-Taubah: 117-118)
Ka’ab berkata, “Demi Allah, saya belum pernah merasakan nikmat Allah yang lebih besar selain dari petunjuk yang Allah berikan kepadaku berupa Islam. Begitu pula tidak ada yang lebih besar dari kejujuran saya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga saya tidak berdusta kepada beliau. Seandainya saya berdusta niscaya saya akan dibinasakan sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika disampaikan wahyu kepada mereka dengan mensifati mereka dengan pensifatan yang sangat buruk di mana Allah telah berfirman: “Mereka (orang-orang munafik) akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka (tidak menuntut mereka). Maka berpalinglah mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor (najis )dan tempat mereka adalah neraka Jahannam sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka bersumpah padamu supaya mereka suka padamu, tetapi seandainya kamu suka pada mereka maka sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang-orang fasik.” (QS. 9; At-Taubah: 95-96)
Ka’ab berkata, “Kami bertiga ditangguhkan taubatnya. Adapun mereka yang telah bersumpah dan berjanji, maka mereka langsung diterima oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dimintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun mengenai urusan kami bertiga maka ditangguhkan sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang memutuskannya. Maka oleh sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan taubatnya.”
Yang dimaksud bukanlah kami tertinggal dari perang tetapi beliau menangguhkan taubat kami dan mendiamkan kami. Tidak seperti orang yang bersumpah di waktu menyampaikan alasan, kemudian beliau menerima alasan itu.
Keesokan harinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Sudah menjadi kebiasaan beliau bila datang dari safar selalu shalat dua rakaat di masjid kemudian duduk berbincang-bincang dengan para sahabat. Pada saat itu datanglah orang-orang yang tidak ikut berperang untuk mengajukan alasan-alasan mereka disertai dengan sumpah kepada beliau yang jumlahnya sekitar 80 orang lebih. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima alasan mereka sesuai dengan apa yang mereka nampakkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at dan memintakan ampun untuk mereka serta menyerahkan apa yang ada di batin mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika saya menghadap dan mengucapkan salam kepada beliau, beliau tersenyum sinis kepada saya dan bersabda, “Kemari!!”
Saya pun datang mendekat dan duduk di hadapan beliau.
“Apa yang menyebabkan kamu tidak ikut perang ini, bukankah kamu telah menyiapkan kendaraan?” tanya beliau.
“Yaa Rasulullah, demi Allah seandainya saya duduk di hadapan penduduk bumi ini selain engkau pasti saya akan beralasan agar selamat dari kemarahannya karena saya orang yang pandai berdebat. Tetapi demi Allah, seandainya saya berdusta pada hari ini sehingga engkau ridha, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuat engkau marah kepada saya. Namun seandainya saya jujur niscaya engkau akan marah pada saya, tetapi saya tetap mengharapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan akibat yang baik. Demi Allah, saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah tidaklah sebelumnya saya lebih kuat dan mampu dari pada ketika saya tidak ikut berperang bersama engkau,” jujur Ka’ab.
“Adapun yang ini telah berkata jujur, pergilah sampai Allah yang memutuskan tentang dirimu,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka akupun pergi. Sewaktu saya pergi, beberapa orang Bani Salamah mengikuti saya. Mereka berkata kepada saya, “Demi Allah, kami belum pernah mengetahui kami berbuat kesalahan sebelumnya, kenapa kamu tidak minta maaf saja kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana orang-orang yang tidak ikut berperang?! Sesungguhnya permintaan ampun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah untuk kamu akan menghapuskan dosamu?!”
Ka’ab bin Malik berkata, “Demi Allah mereka selalu mencela sikapku sehingga bermaksud untuk kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan mendustakan diriku sendiri.”
“Apakah ada seorang yang menerima keputusan seperti saya ini?” tanyaku kepada orang-orang Bani Salamah tersebut.
“Ya, ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang kamu katakan dan keduanya itu mendapatkan keputusan seperti keputusan yang diberikan kepadamu,” Jawab mereka.
“Siapakah kedua orang itu?” tegasnya.
“Murarah bin Rabiah Al ‘Amiry dan Hilal bin Umayah Al Waqify.”
Ka’ab bin Malik berkata, ”Setelah mereka menyebutkan kepada saya dua orang yang shalih ini di mana keduanya itu juga ikut perang Badr dan mempunyai keutamaan maka ketika itu saya merasa agak tenang.”
Ka’ab bin Malik kemudian melanjutkan ceritanya:
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada salah seorang di antara kami bertiga yang tidak ikut perang Tabuk. Maka orang-orang pun menjauhi kami sehingga seolah-olah kami sangat terasing dan rasanya saya tidak betah lagi hidup di dunia ini. Kami bertiga tinggal dalam keadaan seperti itu selama 50 hari.
Adapun kedua sahabat saya, mereka tetap tinggal dan duduk di rumah dalam keadaan terus menangis. Adapun saya, saya yang termuda dan terkuat di antara kami bertiga. Saya tetap keluar dan ikut shalat bersama kaum muslimin. Saya tetap pergi ke pasar akan tetapi tidak ada seorang pun yang menyapa saya. Bahkan, suatu ketika saya pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepada beliau ketika sedang duduk setelah shalat di majlisnya. Aku berkata dalam hati, “Apakah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan kedua bibir beliau untuk menjawab salamku?!”
Lalu saya shalat di dekat beliau sambil sesekali melirik beliau. Apabila saya sedang shalat beliau memandang saya. Tapi apabila saya melirik beliau, beliau berpaling. Sampai ketika peristiwa yang demikian ini semakin menyedihkanku di mana kaum muslimin mengucilkanku sedemikian rupa, maka di suatu sore saya naik dinding rumah Abu Qatadah, saudara sepupuku yang amat sangat kusukai.
Lalu saya mengucapkan salam kepadanya, tapi demi Allah dia tetap tidak membalas salam saya. Lantas saya berkata padanya, “Wahai Abu Qatadah, demi Allah saya ingin mendengar jawabanmu! Apakah kamu mengetahui bahwa saya mencintai Allah dan RasulNya?!”
Tapi Abu Qatadah tidak mau menjawab juga. Kemudian saya meminta dia lagi dengan nama Allah untuk menjawab salam saya, tapi dia masih tidak mau menjawab salam saya juga. Kemudian saya duduk lagi dan saya bertanya lagi kepadanya tapi dia tetap saja diam. Akhirnya dia menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.”
Maka mengucurlah air mataku. Kemudian saya naik dinding rumah Abu Qatadah dan beranjak pulang. Suatu hari, saya pernah berjalan-jalan di pasar. Tiba-tiba ada seorang petani dari Syam yang biasa menjual makanan di kota Madinah bertanya, “Siapakah yang mau menunjukkan Ka’ab bin Malik kepadaku?”
Maka orang-orang menunjuk diriku. Lalu orang itu pun datang kepadaku seraya memberikan sepucuk surat dari raja Ghassan. Waktu itu saya telah bisa menulis dan membaca. Kemudian saya baca surat itu dan ternyata isinya adalah:
“Selanjutnya ingin saya sampaikan bahwa saya telah mendengar kalau teman-temanmu telah mengucilkanmu. Ketahuilah Allah tidaklah menjadikan dirimu sebagai seorang yang hina dan orang yang pantas disia-siakan, maka bergabunglah dengan kami, kita akan saling membantu.”
“Inilah ujian lagi.” gumamku setelah membaca surat itu. Kemudian saya melemparkan surat tersebut ke dalam api.
Setelah sampai pada hari ke-40 di mana saya dikucilkan selama 50 hari dan belum juga turun wahyu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepadaku di mana dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu supaya kamu berpisah dengan istrimu.”
“Apakah saya harus menceraikannya atau apa yang harus saya perbuat???” tanyaku.
“Tidak, janganlah kamu menceraikannya tapi kamu jangan mendekatinya (menyetubuhinya),” jawabnya.
Bersamaan dengan itu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus utusan untuk mendatangi kedua temanku untuk menyampaikan perintah yang sama. Kemudian saya berkata kepada istri saya, “Pulanglah kamu ke keluargamu dulu dan tinggallah di sana bersama-sama mereka sehingga Allah memberi keputusan tentang persoalanku ini.”
Adapun istri Hilal bin Umayyah, maka dia mendatangi Rasulullah.
“Wahai Rasulullah sesungguhnya Hilal bin Umayyah seorang yang sangat tua nan lemah dan tidak mempunyai seorang pelayan. Maka apakah engkau tidak keberatan bila mengizinkan saya melayaninya?” pintanya.
“Tidak apa-apa. Tetapi jangan sekali-kali ia mendekati (menyetubuhi) kamu.”
“Demi Allah! Hilal sudah tidak lagi mempunyai nafsu untuk berbuat seperti itu lagi dan demi Allah ia selalu menangis semenjak ia menerima keputusan itu sampai saat ini.” lanjut istri Hilal.
Kemudian sebagian keluargaku menganjurkan kepadaku agar aku juga minta izin kepada Rasulullah mengenai masalah istriku karena beliau telah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya.
“Saya tidak akan minta izin kepada Rasulullah mengenai istriku. Saya tidak tahu bagaimana jawaban Rasulullah seandainya saya minta izin masalah istriku sedangkan saya masih muda,” tegas Ka’ab.
Kemudian saya tinggal sendirian selama sepuluh hari. Genaplah lima puluh hari saya semenjak orang-orang tidak boleh berbicara kepada kami. Tatkala saya selesai mengerjakan shalat subuh pada hari kelima puluh di tingkat atas rumahku, di mana kemudian saya duduk-duduk di atasnya dengan mengingat apa yang telah menimpaku. Saya telah merasa sangat sempit hidup di dunia ini karenanya. Tiba-tiba saya mendengar seorang yang naik gunung Sal’in dan berteriak dengan suaranya yang paling keras, “Wahai Ka’ab bin Malik bergembiralah kamu!”
Maka saya langsung bersujud karena tahu bahwasanya telah datang jalan keluar bagiku. Ternyata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan kepada manusia bahwa Allah telah menerima taubat kami ketika subuh. Maka orang-orang mulai menyampaikan kabar gembira kepadaku. Begitu pula ada juga yang pergi kepada kedua kawan saya untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.
Ada seorang laki-laki yang datang kepada saya dengan naik kuda, ada yang jalan kaki, ada pula yang naik bukit. Maka terdengar suara orang tadi lebih cepat sampainya kepadaku daripada orang yang berkuda. Ketika sampai kepadaku orang yang menyampaikan kabar gembira tadi, maka segera kulepaskan kedua pakaianku untuk kupakaikan keduanya kepada orang itu dikarenakan kabar gembira tersebut. Padahal demi Allah, waktu itu saya tidak mempunyai pakaian selain itu.
Kemudian saya meminjam dua pakaian untuk saya pakai menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang menemui saya secara berkelompok-kelompok menyampaikan selamat atas diterimanya taubat saya.
“Selamat atas diterimanya taubatmu kepada Allah,” kata mereka.
Saya masuk masjid. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di masjid dan di sekitar beliau terdapat banyak orang, Thalhah bin Ubaidillah bangkit berlari untuk menjabat tangan saya dan mengucapkan selamat kepadaku.
“Demi Allah tidak ada seorangpun dari sahabat Muhajirin yang bangkit selain Thalhah,” ujar Ka’ab.
Abdullah (salah satu periwayat hadits ini) berkata, “Sehingga Ka’ab tidak melupakan Thalhah karena kejadian tersebut.”
Ka’ab berkata: Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda dalam keadaan wajahnya nampak berseri-seri karena gembira, “Bergembiralah kamu pada hari yang paling baik semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu!”
“Adakah dari engkau atau dari Allah wahai Rasulullah?” tanya Ka’ab.
“Bahkan dari Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila sedang bergembira wajahnya bersinar seakan-akan wajahnya belahan dari bulan, kitapun telah mengenalnya. Kemudian saya duduk di hadapan beliau.
“Wahai Rasulullah, termasuk bagian dari taubatku maka saya memberikan semua harta kekayaanku sebagai shadaqah kepada Allah dan RasulNya,” jelas Ka’ab.
“Tahanlah sebagian hartamu karena yang demikian itu baik bagimu!” komentar Rasulullah.
“Kalau begitu saya hanya akan menahan rampasan perang yang saya dapat di Khaibar saja,” lanjutnya.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta’ala menyelamatkan saya karena saya jujur. Maka termasuk dari taubatku, saya tidak akan berbicara kecuali dengan jujur selama hidupku,” kataku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demi Allah, saya tidak mengetahui seorang pun di antara kaum muslimin yang telah diuji oleh Allah karena kejujurannya seperti saya menceritakan keadaan saya dengan sejujur-jujurnya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai hari ini, dan saya berharap kepada Allah Ta’ala semoga tetap memelihara diri saya selama saya hidup.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan firmanNya: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepadaNya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 9; At-Taubah: 117-118)
Ka’ab berkata, “Demi Allah, saya belum pernah merasakan nikmat Allah yang lebih besar selain dari petunjuk yang Allah berikan kepadaku berupa Islam. Begitu pula tidak ada yang lebih besar dari kejujuran saya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga saya tidak berdusta kepada beliau. Seandainya saya berdusta niscaya saya akan dibinasakan sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya Allah berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika disampaikan wahyu kepada mereka dengan mensifati mereka dengan pensifatan yang sangat buruk di mana Allah telah berfirman: “Mereka (orang-orang munafik) akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka (tidak menuntut mereka). Maka berpalinglah mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kotor (najis )dan tempat mereka adalah neraka Jahannam sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka bersumpah padamu supaya mereka suka padamu, tetapi seandainya kamu suka pada mereka maka sesungguhnya Allah tidak suka terhadap orang-orang fasik.” (QS. 9; At-Taubah: 95-96)
Ka’ab berkata, “Kami bertiga ditangguhkan taubatnya. Adapun mereka yang telah bersumpah dan berjanji, maka mereka langsung diterima oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dimintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun mengenai urusan kami bertiga maka ditangguhkan sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang memutuskannya. Maka oleh sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan taubatnya.”
Yang dimaksud bukanlah kami tertinggal dari perang tetapi beliau menangguhkan taubat kami dan mendiamkan kami. Tidak seperti orang yang bersumpah di waktu menyampaikan alasan, kemudian beliau menerima alasan itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar