Rabu, 24 Agustus 2016

PERMATA INDAH ASMAAUL HUSNAA ( 33 ) AL-HALIIM ( YANG MAHA PENYANTUN )

Dengan sifat santun-Nya, Allah tidak langsung menghukum setiap dosa dan kesalahan yang kita lakukan, diberikannya kepada kita waktu yang cukup untuk mau menyadari kelalaian kita sampai saat ajal menjemput kita, kalau kita tidak mau memanfaatkannya dengan meminta ampun atau bertobat sampai batas waktu yang hanya Dia yang mengetahuinya, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus menaggung siksaan berat disebabkan dosa dan kesalahan yang kita bawa mati sebagai akibat dari keras dan bekunya hati kita.


Allah swt berkuasa mutlak menangguhkan pembalasan dan siksa-Nya pada makhluk-Nya. Allah swt juga tetap memberikan ampunan dan anugerah-Nya bagi hamba-Nya seraya memberi kesempatan agar kita memperbaiki diri. Sikap santun Allah tetap berlaku pada seluruh hamba-hamba-Nya. Bagi hamba-hamba-Nya yang durhaka, sikap santun-Nya ditujukan agar mereka sadar dari perbuatan yang aniaya. Sedang sikap santun-Nya pada hamba-hamba-Nya yang taat, diberikan pahala dan anugerah yang besar hingga mereka merasakan kesenangan dan kebahagiaan.

Al-Haliim berarti Allah Maha Penyantun, Pemberi dan Pemurah, Seluruh do’a dan permohonan hanya boleh ditujukan kepada-Nya saja. Tidak ada yang mampu memberikan perlindungan dan keselamatan selain Dia yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang sangat luas yang meliputi seluruh alam semesta.

Kata al-Haliim tidak hanya khas milik Allah, tapi bisa disandang manusia pilihan yang mempunyai sifat dan karakter penyantun. Allah memberi gelar al-Haliim kepada Nabi Ibrahim, dan Nabi Ismail, atas keteguhan dan kesantunannya dalam memperjuangkan misi kenabian. Adalah pantas jika Ibrahim mendapat gelar al-Haliim, karena kesabaran dan kesantunannya di luar batas-batas normal. Sekalipun diusir oleh ayahnya karena keyakinannya, beliau tidak marah, apalagi membencinya. Ia malah mendo’akan agar Allah SWT berkenan memberi ampunan kepada orangtuanya. Allah mengingatkan bahwa mendo’akan orang kafir, sekalipun orangtuanya sendiri, adalah perbuatan sia-sia dan diharamkan agama. Sekalipun begitu, Allah SWT tetap menghargai sikap santun dan sabar Nabi Ibrahim dengan pujian, bahkan diberi gelar al-Haliim.

Nabi Ismail juga demikian. Ketika ayahnya, Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelihnya, Ismail tidak protes, marah, apalagi membencinya. Justru ia berkata kepada ayahnya: “Yaa aabatif’al maa tu’maru satajidunii insyaallaahu minash-shabirin. Wahai ayahku, laksanakanlah perintah Tuhanmu, insyaallah engkau akan mendapati aku dalam keadaan bersabar." Nabi Isma’il dengan sifat santunnya berlapang dada merelakan nyawanya demi melaksanakan perintah Allah dan mempersilahkan dengan penuh ketulusan kepada ayahnya untuk menjalankan perintah tersebut.

Sekalipun ada manusia yang bergelar al-Halim, sikap santun Allah berbeda: tidak dibatasi ruang dan waktu. Dia yang menyaksikan kedurhakaan para pendurhaka dan pembangkangan para pembangkang, Dia masih memberi kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki diri. Dia begitu santun walau kekuasaan-Nya meliputi langit dan bumi.

Kesantunan Allah dapat pula kita lihat dari cara Dia yang berbeda dalam  membalas kebaikan dan kejahatan, sebagaimana yang dinyatakan-Nya di dalam hadis Qudsy yang artinya:”Apabila salah seorang dari hamba-hamba-Ku merencanakan suatu kejahatan, tetapi tidak jadi dilaksanakannya akan dituliskan baginya satu pahala. Tetapi jika dilaksanakannya maka akan ditulikan baginya satu kejahatan, jika ia bertobat maka dihapuslah dosa kejahatannya itu. Dan apabila salah seorang dari hamba-hamba-Ku merencanakan melaksanakan suatu kebajikan, lalu tifak jadi dilaksanakannya maka ditulis baginya satu pahala, tetapi jika dilaksanakannya rancana itu, maka dituliskanlah baginya sepuluh hingga tujuh ratus kebaikan (pahala)”.

Alangkah penyantunnya Allah kepada orang orang yang berniat untuk melakukan kejahatan tapi tidak jadi dilaksanakannya, Allah masih memberikan pahala satu kebaikan, sedangkan kalau niat jahat itu dilaksanakan, maka Allah hanya menganjarnya dengan sesuai dengan kejahatan itu saja. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ganjaran yang diberikan kepada orang yang berbuat kebajikan, hanay berniat saja sudah diberi ganjaran satu pahala, apalagi kalau sudah dilaksanakan, maka pahala yang diberikan oleh Allah antara sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat dari kebaikan yang dilaksanakan itu.


Allah Maha Penyantun. Dia tidak memutuskan rizki-Nya kepada orang yang melakukan dosa, tidak bersegera menjatuhkan hukuman kepada orang yang durhaka. Hadits Qudsi berikut ini menggambarkan betapa Maha Santun-Nya Allah SWT: "Jika engkau mengingat-Ku, Aku pun mengingatmu; jika engkau lupa kepada-Ku, aku tetap mengingatmu. Jika engkau taat kepada-Ku, maka pergilah kemana pun yang kau kehendaki. Engkau jadikan Aku pelindungmu, maka aku melidungimu; engkau tulus kepada-Ku, Akupun tulus kepadamu; engkau berpaling dari-Ku, Aku menuju kepadamu. Siapakah yang memberimu makan ketika engkau masih berbentuk janin dalam perut ibumu? Aku yang terus-menerus melakukan pentadbiran yang sempurna kepadamu, sehingga rencana-Ku terlaksana pada dirimu. Tetapi ketika engkau Ku-keluarkan menuju ke pentas bumi, engkau bergelimang di dalam dosa. Bukan begitu pembalasan kepada yang berbuat baik kepadamu." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar